Selasa, 06 November 2012

Tugas Metodelogi Penelitian


Metodelogi Penelitian

*      Fakta

Dalam pembelajaran IPA di SD/MI pada meteri “sifat-sifat benda” seringkali guru hanya menerangkan materi yang diajarkan dengan cara menggunakan metode ceramah, siswa hanya dituntut untuk membaca materi-materi yang ada dan menghafal materi tersebut, seringkali tujuan dari pengajaran yang diberikan oleh guru kepada siswa hanya supaya siswa bisa mengerjakan soal diakhir materi pembelajaran. Pembelajaran IPA dalam materi “sifat-sifat benda” sebenarnya membutuhkan banyak kegiatan praktik atau pengamatan secara langsung, tetapi di SD/MI kegiatan praktik atau pengamatan tersebut hanya diberikan sedikit sekali terkadang juga tidak diberikan, sehingga beberapa siswa sering mendapatkan kesulitan dalam pemahaman konsep, keterampilan dan yang lebih penting lagi siswa kurang bisa mengaplikasikan apa yang telah dipelajari terhadap kehidupan sehari-hari, hal tersebut banyak menimbulkan masalah bagi siswa karena IPA merupakan pelajaran yang mempelajari tentang lingkungan sekitar dalam kehidupan sehari-hari, jadi diharapkan siswa dalam menerima pelajaran tersebut dapat juga  mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

*      Harapan / yang seharusnya dilakukan
Yang seharusnya dapat dilakukan oleh seorang guru dalam pembelajaran IPA pada materi “sifat-sifat benda” ialah guru sebaiknya memberikan kesempatan kepada siswa untuk membangun dan menemukan konsep objek melalui serangkaian kegiatan yang berulang. Sehingga siswa dapat mengalami sendiri proses perolehan konsep sampai  siswa dapat mengaplikasikan dalam konteks kehidupan sehari-hari.

*      Judul
“Peningkatan Hasil Belajar Siswa MI Kelas Tiga Pada Materi Sifat-Sifat Benda Dengan Menggunakan Model Pembelajran Siklus Belajar”.

Minggu, 04 November 2012

Tasawuf Nusantara


A.    Biografi Syaikh Yusuf Al-Makasari
Tentang asal-usul Syaikh Yusuf, yang diketahui sebenarnya bersifat legenda yang tidak dapat dipastikan kebenarannya. Hampir semua sumber sepakat bahwa ayahnya adalah seorang tua dari kalangan biasa, tetapi terkenal sebagai orang suci yang mempunyai banyak keramat. Ibunda Syaikh Yusuf  berasal dari keturunan bangsawan, ia putri Gallarang Monconglo’E, teman akrab raja Goa sultan Alauddin.[1]
Syaikh Yusuf dibesarkan di istana oleh raja Goa Sultan Alauddin dan diangkat oleh raja sebagai anak angkatnya. Syaikh Yusuf dilahirkan di Makasar, Sulawesi pada tahun 1626, bertepatan dengan 8 syawal 1036 H. Tanggal tersebut terdapat dalam Kronik Goa dan Tallo (Lightvoet 1880) , namun oleh Cense dinyatakan bahwa tanggal itu baru ditambahkan kemudian, setelah Syaikh Yusuf menjadi terkenal.[2]
Syaikh Yusuf merupakan orang yang memperkenalkan tarekat Naqsabandiyah di Indonesia.hal ini disebutkan di dalam bukunya, Safinah Al- Najah sebagaimana dia menerima ijazah dari Syaikh Muhammad ‘Abd Al-Baqi di Yaman kemudian mempelajari tarekat ketika berada di Madinah di bawah bimbingan Syaikh Ibrahim Al-Kurani. Dalam perjalananya ke Yaman, dia berhenti beberapa waktu di Aceh untuk memperdalam ilmu tasawuf dan memperoleh ijazah dari seorang syaikh tarekat Qadariyah pada masa Al-Raniri. Kemudian melanjutkan perjalanannya ke Haramain dan bermukim beberapa tahun mendalami ilmu-ilmu tasawuf dan tarekat sampai mendapat ijazah dari seorang tarekat Syattariyah. Kemudian dia hijrah ke Damaskus dan berhubungan dengan syaikh-syaikh tarekat dan mempelajari tarekat Khalwatiyah. Karena kepakarannya dalam tarekat tersebut hingga dia dijuluki Syaikh Taj Al-Khalwati Al Makassari.
Syaikh Yusuf kembali ke Indonesia tahun 1672 M. tetapi situasi politik di negerinya Makassar, menyebabkan dia mengurungkan niat dan memilih menetap di Jawa Barat, Banten, hingga menikah dengan putri Sultan Banten dan menjadi seorang syaikh yang berpengaruh. Ketika terjadi perselisihan antara Kesultanan dengan Belanda, dia menjadi pemimpin perang bersama murid-muridnya dan angkatan perang sultan. Akan tetapi kekuatan Belanda mampu melumpuhkan pasukan, Syaikh pun menjadi menjadi tawanan dan diasingkan ke Srilangka pada tahun 1099 H dalam usia 57 tahun.[3] Ketika berada di Srilangka Syaikh Yusuf masih bisa menjalin hubungan dengan keluarga dan murid-muridnya yan ada di tanah air melalui jamaah haji yang singgah di Srilangka. Keadaan tersebut diketahui oleh Belanda, dan bertepatan pada bulan juli 1693, Syaikh Yusuf disertai 49 pengikutnya dibuang ke Tanjung Harapan, naik kapal De Voetboog. Mereka ditempatkan di daerah Zandvliet yang terletak dekat pantai, tempat ini kemudian dinamakan Macassar.
Syaikh Yusuf menjadi pusat perhatian dan kehidupan islam di Tanjung Harapan, yang makin lama makin bertambah banyak dan kuat. Ia tinggal di Tanjung Harapan sampai wafatnya pada 23 Mei 1699 dalam usia 73 tahun. Belanda menyampaikan berita duka itu kepada Sultan Banten dan raja Goa. Kedua pemimpin itu meminta agar jenazah Syaikh Yusuf dikembalikan dari Afrika Selatan, tetapi pihak Belanda tidak mengindahkankannya. Baru pada zaman pemerintahan Raja abdul Jalil, tepatnya pada tahun 1704. Pemerintah Belanda mengabulkan permintaan tersebut. Pada tanggal 5 April 1705 kerandanya tiba di Goa dan kemudian dimakamkan di Lakiung pada esok harinya.[4]

B.      Pemikiran Tasawuf Syaikh Yusuf Al-Makassari
Pokok pemikiran Syaikh Yusuf dalam Zubdat al-Asrar ditulis sebagai buku pegangan untuk murid-muridnya yang sedang menempuh jalan tasawuf, yaitu calon sufi yang ingin mencapai makrifat dan mengenal Tuhan.
·         Al-Ma’iyyah dan al-Ihatah
Dikatakan bahwa, pada setiap waktu dan dalam setiap keadaan, hamba yang bijaksana hendaklah meyakini bahwa Allah bersama dia di manapun ia berada. Tentang liputan ilmu Allah, dikatakan hamba harus meyakini bahwa Allah mengetahui segala sesuatu.
·         Zikir dan macam-macamnya
Disebut dalam Zubdat al-Asrar berbagai macam zikir seperti “La Ilaha Illa Allah”, dinamakan zikir orang-orang awam atau zikir lisan atau lidah. “Allah-Allah”, zikir orang-orang khawas atau zikir qalb atau hati. Dan “Huwa-Huwa” yang dinamakan zikir akhas al-khawas atau zikir sirr atau rahasia,
·         Wujud Tuhan dan Bayang-bayang
Menurut Syaikh Yusuf, wujud selain Allah hanya sebagai fenomena dari wjud yang berdiri dan memberi wujud bagi yang lain.
·         Berbaik sangka terhadap manusia da terhadap Tuhan
Untuk menempuh jalan kesufian haruslah beakhlak baik, berbaik sangka terhadap semua orang-orang bersalah, karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun.
·         Tahap-tahap dalam tasawuf (Maqamat)
Calon sufi harus mulai perjalananya dengan tobat, berakhlak mulia dan harus percaya bahwa qada dan qadar yang baik maupun yang buruk adalah dari Allah. Serta melakukanya dengan niat dan ikhlas, memperbanyak zikir pada Allah setiap waktu.
·         Karamat, mu’jizat, dan istidraj
Karamat apabila terjadi atas diri seorang saleh yang terkait dengan syariat terlebih-lebih hakikat, dan apabila terjadi atas diri seorang nabi dinamakan mu’jizat, bila terjadi sebelum kenabian dinamakan irhas.
·         Al-‘Ubudiyyah al-Mutlaqah
Dalam tingkat ‘Ubudiyyah, seorang hamba yang ingat kepada Allah akan menjadi yang diingat, yang nengetahui akan menjadi yang diketahui, yang melihat akan menjadi yang dilihat, dan yang mencintai akan menjadi dicintai. Dalam hal ini perasaan hamba seolah-olah menjadi Tuhan, karena telah memperoleh sebagian sifat-sifat Tuhan dan sebelumnya telah mensucikan diri dan meninggalkan sifat-sifat kemanusiaannya.
·         Al-insan al-Kamil
Menurut Syaikh Yusuf, prinsip pertama untuk dapat mencapai peringkat insane kamil ialah dengan meyakini bahwa Allah trasenden, Maha Esa, tidak ada yang dapat dipertandingkan dengan-Nya. Ia senantiasa menyertai hamba-Nya (al-ma’iyah) dan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu (al-Ihatah). Meskipun demikian Syaikh Yusuf bersiakap sangat hati-hati untuk tidak mengaitkan dirinya dengan ajaran wujudiyah, dengan menyatakan “kendati Tuhan mengungkapkan diri-Nya dalam makhluk-Nya, itu tidak berarti bahwa makhluk adalah Tuhan. Makhluk hanyalah zhill (bayang-bayang) dari wujud Tuhan sebagai wujud hakiki.[5]
·         Tariqat, Syaikh Bai’at dan Syaikh Talqin
Untuk dibimbing menuju jalan Allah, calon sufi dan wliullah harus melakukan sejumlah pekrjaan danbeberapa kebiasaan yang dilakukan dengan bimbingan seoarang Syaikh. Terlebih dahulu calon sufi tersebut dinyatakan masuk salah satu tariqat dan syaikh membaiat calon sufi untuk berjanji dan mentaati semua petunjuk yang diberikan syaikh tariqat itu.
·         Wahdat al-Wujud
Bahwa semua makhluk dapat menyaksikan ke-Esaan Tuhan yang mutlak, dan manifestasinya-Nya kepadanya, dan bahwa tiada wujud yang hakiki yang sebenarnya selain wujud Tuhan dan sifat-sifatnya.[6]

C.    Corak Pemikiran Tasawuf Syaikh Yusuf Al-Makassari
Pemikiran tasawuf Syaikh Yusuf berdasarkan ungkapan-ungkapan yang ditemukan dalam karyanya terkesan bahwa Syaikh Yusuf banyak berafiliasi kepada berbagai tarekat.
 Seperti Syaikh Yusuf mengatakan “apabila seseorang mengatakan kepada kamu, ‘bagaimana kamu memungkiri wujud alam, sedangkan kamu melihat dengan mata kepalamu sendiri adanya itu, tanpa sedikit pun kraguan?” jawaban orang-orang arif adalah “wujud hakiki ialah wujud yang berdiri sendiri, sedangkan wujud yang kita jalani bukan wujud hakiki, melainkan wujud bayangan saja” kemudian Syaikh susulkan konsep al-‘ayan al-tsabitah yang seluruhnya mengacu kepada Ibn-Arabi.[7] Tetapi meskipun demikian Syaikh Yusuf mengkhususkan satu risalah tentang tarekat Naqsabandiyah, yang merupakan indikasi kecenderungan kepada tarekat tersebut lebih besar daripada tarekat yang lain. Akan tetapi dia cukup kreatif dalam memasukkan ajaran tarekat lain dalam tarekat lain yang diajarkan pada muridnya.
Syaikh yusuf cenderung pada mazhab wahdah-nya Ibn ‘Arabi dan berusaha mengukuhkan mazhab ini dengan mengutip pernyataan-pernyataan pemuka sufi.
Masuknya tarekat Naqsabandiyah pada pertengahan kedua abad ke-17. Akan tetapi, tarekat ini mulai terorganisasi dan disiplin ajaran-ajaranya sekembalinya Syaikh Yusuf ke Indonesia.[8]

D.    Karya-karya Syaikh Yusuf Al-Makassari
Syaikh Yusuf adalah figure sufi yang cukup produktif dalam karya tulis, berani, dan tegas menghadapi penguasa. Di antara karya-karyanya yang sudah ditemukan adalah :
1.      Habl Al-Marid li Sa’adah al-Murid
Dalam hal ini dia menasihatkan murid antara lain “jadilah kamu seperti bayangan pribadi syaikh setiap waktu dan keadaan, selalu membayangkannya, mengawsi, dan tidak lalai selamanya, selalu santun dengannya dan tidak melupakannya disetiap masalahmu karena kamu bersamanya dan dia bersama Allah Swt.
2.      Al-Futuhat Al-Rabbaniyyah
Berisi tentang keutamaan Syaikh dan kewajiban murid kepada gurunya.
3.      Zubdah Al-Asrar fi Tahqiq Masyarib Al-Akhyar
Seseorang yang melakukan zikir hendaknya memahami makna kalimat tersebut bahwa tidak ada tuntutan, tidak ada maksud dan tujuan, dan tidak ada kecintaan dan kerinduan, tidak ada pelaku, dan tidak ada wujud hakiki kecuali bagi Allah Swt.
4.      Tuhfah Al-Labib bi Liqa’ Al-Habib
Berisi tentang keutamaan mengingat Allah Swt dan bagaimana Rasul Saw selalu berzikir kepada Allah Swt setiap saat.
5.      Safinah Al-Najah Al-Mustafadah ‘an Al-Masyayikh Al-Tsiqat
Risalah ini menerangkan nasihat-nasihat syaikh mengenai makna baiat.
6.      Al-Fawaid Al Yusufiyyah fi Bayan Tahqiq Al-Shufiyyah
Risalah ini ditulis sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan murid-muridnya tentang tasawuf.
7.      Muqaddimah Al-Fawaid ila Ma La Budda min Al-‘Aqa’id
Dalam risalah ini pengarang menguraikan tentang macam-macam zikir dan makna konsep al a’yan al-tsabitah(wujud makhluk dalam ilmu Allah Swt) yang sngat jelas terpengaruh dengan Ibn A’rabi dan Al-Burhanfuri mengenai syarat-syarat sebagi murid.[9]
Syaikh juga mempunyai banyak risalah kecil, antar lain, Al-Barakah Al Sailaniyyah, Bidayah Al-Mubtadi’, Qurrah Al’Ain, Sirr Al-Asrar, Daf’ Al-Bala’, Ghayah Al-Ikhtisar wa Nih Al-Abrar li Ahl Al-Asrar, Al-Wasiyyat al-Munjiyat ‘an Mudarrat al-Hijab, Tahsil al-Inayah wa al-Hidayah, Hasyiyah dalam Kitab al-Anbah  fi I’rab La Ilaha Illa Allah, Hazihi Fawaid Lazimah Zikr La Ilaha Illa Allah, Taj al-Asrar fi Tahqiq Masyarib al-Arifin, dan Matalib al-Salikin.


[1] Nabilah Lubis, hal 18
[2] Ibid, hal 20
[3] Alwi Shihab, hal 179.
[4] Nabilah Lubis, hal 28.
[5] Yunasril Ali, hal 190-191.
[6] Nabilah Lubis, hal 59.
[7] Alwi Shihab, hal 183.
[8] Ibid, hal 186.
[9] Ibid, hal 180-182.