Perubahan Kurikulum Dalam Sejarah
Pendidikan Di Indonesia
Pendidikan di Indonesia sudah mengalami sebanyak sepuluh kali perubahan
kurikulum. Perubahan kurikulum tersebut diantaranya kurikulum 1947 memiliki
nama Rencana Pelajaran merupakan kurikulum pertama di Indonesia, kurikulum 1964
atau rencana pendidikan sekolah dasar, kurikulum 1968 yang disebut kurikulum
sekolah dasar, kurikulum 1973 kurikulum proyek perintis sekolah pembangunan
(PPSP), kurikulum1975, kurikulum 1984 yang terkenal dengan cara belajar siswa aktif
(CBSA), kurikulum 1994, kurikulum 1997 sebagai revisi kurikulum 1994, kurikulum
berbasis kompetensi (KBK), dan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Dan yang
ramai dibicarakan pada saat ini adalah tentang perubahan kurikulum di tahun
yang akan datang yakni perubahan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menjadi kurikulum 2013 yang belum pasti apa
nama yang diberikan untuk kurikulum yang sedang direncanakan tersebut.
Apabila kita melihat kebelakang tentang perkembangan kurikulum yang selalu berubah, tidak perlu
terlalu jauh cukup kita mulai pada kurikulum 2004 atau Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK). Dalam kurikulum KBK memiliki tujuan untuk membekali peserta
didik dalam menghadapi tantangan hidupnya di masa deapan yang cenderung semakin
komplek secara lebih mandiri, cerdas rasional dan kritis. Meskipun KBK menjadi
kurikulum yang memenuhi kesempurnaan secara konseptual. Namun pada kenyataan
pelaksanaannya banyak ditemukan kendala. Sehingga diperlukan perangkat khusus
yang mengatur secara teknis dan detail tentang pelaksanaannya tersebut, perangkat
khusus yang dimaksud adalah perangkat yang disusun berdasarkan pada kesesuaian dengan kekhasan,
kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik. Kemudian
dibentuklah kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). KTSP berfungsi
menjembatani dari kendala-kendala yang terjadi pada kurikulum berbasis
kompetensi (KBK). Dalam hal ini pengembangan KTSP megacu pada standar isi yang
mencakup lingkup materi dan tingkat kompetensi untuk mencapai kompetensi
lulusan pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Selain itu KTSP juga
mengacu pada standar kompetensi lulusan yang merupakan kualifikasi kemampuan
lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan dan keterampilan.
Terdapat kebijakan dari pemerintah pada setiap tahunnya, baik
kebijakan mengenai undang-undang, dan kurikulum pendidikan nasional yang selalu
direvisi demi menghasilkan out put yang baik, seperti membentuk siswa berkarakter,
berakhlak mulia, dan nantinya dapat menjadi generasi penerus bangsa yang
berkualitas. Dan pada kesempatan kali
ini pemerintah telah melakukan revisi terhadap KTSP yang akan berubah menjadi
kurikulum baru yaitu kurikulum 2013.
Telah dilakukan uji publik mengenai kurikulum 2013 ini, uji publik
yang dilakukan mulai pada tanggal 29 Nopember-23 Desember berlangsung
diberbagai daerah. Uji publik kurikulum 2013 dilakukan dengan dialog tatap muka
yang dilakukan pada tingkat nasional dan tingkat daerah (33 provinsi), dialog
virtual dan dialog tertulis dimana bahan uji publik tersebut dikirim keberbagai
perguruan tinggi dan lembaga pemerhati pendidikan di Indonesia. Dari uji publik
kurikulum 2013 kita bisa mengetahui rencana pelaksanaan pendidikan seperti apa
yang akan diterapkan dalam pendidikan di Indonesia selanjutnya.
v Kurikulum 2013 Pembelajaran Yang Berpusat Pada Siswa
Kurikulum 2013
merupakan lanjutan pengembangan kurikulum berbasis kompetensi yang dirintis
tahun 2004 yang mencakup kompetensi sikap, pengtahuan serta keterampilan secara
terpadu. Keberadaan kurikulum 2013 dikarenakan dianggap banyak terjadi
pemasalahan pada kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang dijadikan alat
penjembatan dari kurikulum berbasis kompetensi. Dari bahan uji publik kurikulum
yang ada pengembangan kurikulum 2013 lebih menekankan pada pembelajaran siswa
aktif berbasis kompetensi, siswa yang dulunya diberi tahu pada kurikulum ini
siswa memcari tahu sendiri. Hal ini memang sangat baik bagi pekembangan siswa
terutama siswa sekolah dasar karena dengan cara mereka mencari tahu sendiri
dengan guru sebagai fasilitator, pembimbing dan inovator maka siswa akan lebih mudah untuk menemukan
konsep dari apa yang telah mereka pelajari, serta lebih mudah
mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Jadi guru bukan merupakan
satu-satunya sumber belajar bagi siswa.
Pembelajaran
yang berpusat pada siswa (student active learning) yang dijadikan prioritas
utama pada kurikulum 2013 mendapatkan tanggapan positif dari Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam harian kompas (18/12/2012) Mohammad Nuh
mengatakan, bahwa kurikulum baru yang tengah menjalani fase uji publik ini
bertujuan utama membangun kemampuan berpikir anak secara ilmiah. Dia yakin
bahwa ini akan berdampak baik mengingat banyaknya laboratorium alam yang dapat
dieksplorasi oleh anak-anak. Dia menambahkan bahwa dengan tingginya intensitas
anak melakukan observasi langsung tentang fenomena alam di lapangan, mereka
dapat lebih yakin terhadap suatu hal. Selanjutnya akan muncul berbagai
pertanyaan kritis dari rasa ingin tahu anak-anak ini terhadap fenomena alam
yang sedang diobsevasi. Selama ini, anak-anak malas mengembangkan imajinasi dan
kreativitasnya karena kemampuan berpikir mereka dibelenggu pada hal-hal yang
sifatnya biner. Intinya jika anak menjawab tidak sesuai dengan guru, maka
jawaban mereka langsung disalahkan tanpa dilihat proses anak menjawab. Hal ini
sesuai dengan apa yang ada pada elemen perubahan pada kurikulum 2013 yaitu
dimana siswa tidak hanya belajar di dalam kelas tetapi juga di lingkungan
sekolah dan masyarakat.
Penilaian yang dulu hanya pada penekanan kognitif yang berfokus
pada out put saja kali ini terjadi penilaian lebih fokus pada penilaian
proses dan penilaian out put, oleh karena itu penambahan jam pelajaran
pada kurikulum ini akan diberlakukan. Perlu disadari juga bahwa penilaian
proses harus diterapkan karena untuk mencetak generasi bangsa yang cerdas dan
berkarakter tidak hanya dinilai pada aspek kognitifnya saja. Nilai ujian memang
penting, tetapi yang lebih penting ialah bagaimana proses belajar tersebut
berjalan atau didapatkan. Sebagai seorang guru kita harus menghargai hasil
jerih payah siswa kita, penghargaan dapat kita berikan karena kerja keras
siswa, kedisiplinan, kejujuran siswa dan lain sebagainya bukan hanya dari nilai
ujian.
Tidak terlepas
dari fungsi dan tujuan pendidikan Indonesia dalam UU no.20/2003 Sistem
Pendidikan Nasional pasal 3 yang mennyebutkan fungsi pendidikan mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Serta tujuan pendidikan yaitu untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab. Maka untuk membentuk pribadi peserta didik yang ada pada fungsi dan
tujuan pendidikan di Indonesia dibutuhkan adanya penilaian proses dalam proses
pembelajaran. Kalau hanya menilai aspek kognitifnya mungkin output yang
dihasilkan hanyalah pribadi-pribadi yang cerdas dalam pengetahuan tetapi miskin
karakter yang diharapkan, akibatnya banyak terjadi seperti pemberitaan yang
sering terjadi saat ini serperti nyontek disaat ujian, tawuran pelajar sampai
korupsi. Itu semua dikarenakan bagi mereka belajar hanyalah kompetisi untuk
mendapatkan nilai yang terbaik yang hanya diperhitungkan secara kuantitas tanpa
memperhatikan kualitas.
Berkaitan dengan pendidikan karakter, menurut Wamendikbud
bidang kebudayaan Wiendu Nuryanti , pendidikan karakter akan lebih banyak
dipelajari siswa di tingkat sekolah dasar dimulai sejak dini. Semakin tinggi
jenjangnya, pelajaran terkait pendidikan karakter berkurang, dan diganti dengan
pelajaran keilmuan. Sementara itu, dia juga mengatakan kurikulum yang sedang
dalam penyusunan tersebut diharapkan akan memberikan perubahan pada model
pembelajaran yang memberikan ruang gerak bagi siswa untuk berekspresi
seluas-luasnya."Pembangunan karakter sebagai sentral dari pendidikan
nasional akan disinergikan dengan kebudayaan untuk menyebarkan virus
pembangunan karakter dan targetnya bukan hanya peserta didik tetapi juga guru
dan masyarakat luas yang diwakili oleh komunitas-komunitas seperti seniman dan
budayawan dan sebagainya," katanya. Hal itu dia paparkan dalam harian
Kompas (18/12/2012)
v Desentralisasi Semu Yang Kembali
Pada Sentralisasi
Sementara itu tentang pengelolaan kurikulum 2013 sepertinya
pada kurikulum ini bukan mengembangakan atau memperbaiki dari kurikulum
sebelumnya yaitu KTSP dimana sekolah diberikan kebebasan untuk mengembangkan
potensi yang ada pada daerah masing-masing sesuai dengan kebutuhan, kepentingan
peserta didik dan lingkungan. Bukti nyata desentralisasi pengelolaan pendidikan
pada KTSP ini adalah diberikannya kewenangan kepada sekolah untuk mengambil
keputusan berkenaan dengan pengelolaan pendidikan, seperti tercermin dalam
pengelolaan kurikulum, baik dalam penyusunan maupun pelaksanaannya di sekolah.
Tetapi pada kurikulum 2013, meskipun dalam pengelolaan kurikulum Pemerintah
Pusat dan Daerah memiliki kendali kualitas dalam pelaksanaan kurikulum di
tingkat satuan pendidikan. Dan juga satuan pendidikan mampu menyusun kurikulum
dengan mempertimbangkan kondisi satuan pendidikan, kebutuhan peserta didik dan
potensi daerah. Tetapi apabila pemerintah juga yang pada akhirnya menyiapkan
semua kompenen kurikulum sampai buku teks dan pedoman, maka hal itu sama saja
dengan kurikulum ini akan kembali kepada sentralistik. Pemerintah juga yang
mengatur semuanya, kewenangan sekolah masih mengacu semua kepada kebijakan
pemerintah. Akibatnya apa yang telah direncanakan pada KTSP sebelumnya meskipun
pada KTSP juga desentralisasinya masih semu tetapi alangkah lebih baiknya jika
semakin diperbaiki bukan malah dihilangkan begitu saja, untuk apa menyusun KTSP
yang begitu rumit dan membutuhkan banyak dana
tetapi pada akhirnya kebijakan yang ada pada KTSP akhirnya sirna,
padahal kebijakan desentralisasi semu tersebut cukup baik apabila dikembangkan
menjadi desentralisasi yang sesungguhnya. Pada dasarnya pendidikan yang
bersifat desentralisasi pola pengembangan kurikulumnya akan jauh lebih baik
daripada pola pengembangan kurikulum yang sentralisasi. Karena menurut model pengembangan kurikulum ”grass roots”, pengembangan kurikulum
yang desentralisasi lebih demokratis karena pengembangan dilakukan oleh para
pelaksana di lapangan, sehingga perbaikan dan peningkatan dapat dimulai dari
unit-unit terkecil dan spesifik menuju pada bagian-bagian yang lebih besar.
Selain itu, karena pengembangan kurikulum ini yang bersifat desentralisasi
memungkinkam terjadinya kompetisi di dalam meningkatkan mutu dan sistem
pendidikan, dan pada akhirnya akan melahirkan manusia-manusia yan lebih
mandiri.
Forum Komunikasi Peduli Pendidikan Republik Indonesia
(FKPPRI), yang beranggotakan pakar, praktisi, dan pengamat pendidikan menolak
kurikulum 2013. Hal tersebut dikatakan dalam harian Kompas, perubahan kurikulum
dinilai tidak berdasarkan kajian yang menyeluruh. "Belum ada riset dan
evaluasi yang mendalam dan sungguh-sungguh tentang Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP), baik berdasarkan Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006
tentang Standar Isi maupun Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar
Kompetensi Lulusan," kata Koordinator FKPPRI Darmin Mbula dalam surat
pernyataan sikap yang diterima, Senin (17/12/2012). Perubahan atau
pergantian KTSP (2006) ke kurikulum 2013 tidak berdasarkan alasan yang kuat dan
dapat dipertanggungjawabkan serta landasan hukumnya tampak mengada-ada sebagai
rasionalisasi perubahan kebijakan. Penyusunan Kurikulum 2013 tidak berdasarkan
kajian yang mendalam dan transparan terhadap situasi yang menjadi alasan
kuat perlunya kurikulum 2013. Rumusannya amat sangat normatif berdasarkan
spekulasi tanpa dukungan hasil riset dan ujicoba inovasi di lapangan.
Mengenai pengurangan jumlah mata pelajaran dalam kurikulum
2013 dikurangi dengan maksud mengurangi beban belajar siswa, namun muatannya
berlipat ganda karena mengikuti alur pikiran kompetensi inti dan jumlah jam
pelajaran per minggu ditambah. Dampaknya apabila kita kaji lebih jauh adalah
beban belajar siswa semakin berlipat ganda. Selain itu, rumusan kompetensi
inti tidak berdasarkan kajian mendalam dan hasil riset dan inovasi. Hubungan
antara kompetensi inti dan kompetensi dasar dalam mata pelajaran tidak koheren
sehingga berdampak meningkatnya kepadatan kompetensi dan materi pada tiap mata
pelajaran.
Kurikulum di Indonesia selalu berubah sesuai perubahan jaman dan
kebutuhan dimasanya.Perubahan kurikulum selama ini sangat dipengaruhi oleh
politik, kepentingan golongan, pemenuhan kebutuhan masyarakat secara instan,
atau memenuhi kebutuhan jangka pendek. Hal ini menyebabkan pendidikan hanya
sekedar mempertahankan eksistensi manusia secara individu atau bangsa saat itu.
Oleh karena itu dalam pengembangan kurikulum pendidikan harus terlepas dari
kepentingan politik yang dapat menjerumuskan bangsa pada pemenuhan kebutuhan
kelompok tertentu. Kurikulum juga hendaknya
memiliki landasan keilmuan yang kuat untuk diaplikasikan dalam perilaku
dan karya. Selain itu kurikulum hendaknya tidak dirubah atau diganti, namun
berangkat dari landasan filosofis, psikologis, sosial budaya, pengetahuan,
teknologi, dan organisatoris ditingkatkan sehingga dapat melahirkan prestasi
pendidikan semakin tinggi dan besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar